Sepenggal Cerita Tentang Brilian

Malam itu langit terlihat gelap, awan mendung mulai tebal menghiasi suasana malam-malam di awal bulan November. Deru angin tak begitu kencang menerpa pepohonan, menggoyahkannya dengan lembut membuatnya bergerak pelan melambaikan daun-daunnya. Aku langkahkan kakiku di depan rumahku yang kecil sederhana, rumah yang sudah berapa puluh tahun sejak aku kecil belum tersentuh banyak perubahan. Aku berjalan dengan pelan melangkahkan kakiku menuju rumah searang gadis seumuranku. Rumah seorang gadis yang tak jauh dari rumahku. Malam itu aku punya janji dengannya untuk sekedar berdiskusi bersama. Tak hanya berdua, ada dua sosok gadis lain yang akan datang pada malam itu.

Langkah kakiku semakin pasti menyusuri jalan beraspal yang mulai sedikit rusak di beberapa sisinya. Berjalan seorang diri, disaksikan lampu-lampu rumah warga yang tengah menerangi jalanan. Rumah warga seolah terlihat sepi walau kala itu masih di waktu ba’da Isyak persis. Hanya terdengar obrolan para artist televisi yang ramai bersahutan dari dalam rumah-rumah itu. Hingga sampailah aku di rumah gadis itu. Seorang gadis yang baru saja mentuntaskan gelar sarjananya di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Farida namanya. Aku ucapkan salam di depan rumahnya, terdengar tak hanya satu orang yang menjawab salamku. Ternyata ada dua sosok wanita lain selain Farida yang sudah duduk di ruang tamu sambil sibuk memainkan handphonenya. Dua sosok gadis yang bersemubunyi dengan sopan di balik hijab yang dikenakannya. Sosok yang pertama, seorang gadis yang dengan santunnya menyapaku di balik balutan kerudungnya. Chusnul Chotimah, seorang gadis yang juga baru saja merasakan rasanya di wisuda di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Sosok yang satunya, terlihat sedang tersenyum manis menyapa sambil asyik menatap layar handphonenya. Aris Haimatul Syafaati, seorang gadis cantik yang telah lulus lebih dahulu dariku dalam menyelesaikan S1. Seorang gadis lulusan bergelar S.Pd.I dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Malam itu ternyata aku datang paling akhir, ketiga temanku itu sudah sedari tadi menungguku. Aku senang melihat semangat mereka pada malam itu. Sebelumnya di malam sebelum itu, aku bertiga dengan Chusnul dan Farida sedang asyik berbincang-bincang membicarakan tentang kehidupan kampus masing-masing. Menceritakan suka duka ketika menjalani masa kuliah selama empat tahun sebagai seorang mahasiswa. Farida di Surakarta, Chusnul di Kudus dan sementara aku di Semarang. Tepatnya di sebuah kampus yang berlatar belakang kependidikan, Universitas Negeri Semarang. Canda tawa mengiringi perbincangan kami, hingga terlontar pertanyaan “Apa yang akan kita lakukan setelah lulus ini?”. Semuanya terdiam, saling menatap seolah tak punya jawaban yang meyakinkan untuk di ucapkan. Hingga Farida pun berkata padaku,

“Kamu sih udah mas, sudah buat buku seperti itu” jawabnya dengan nada candaan.

Aku menjawabnya bahwa itu belum seberapa yang bisa dikatakan sebagai sebuah

karya besar. Mereka pun mulai menceritakan bahwa sudah melamar pekerjaan di beberapa tempat dan tinggal menunggu pengumuman. Kami pun mulai asyik berbincang kembali, menceritakan masa-masa kuliah yang penuh lika-liku. Hingga akhirnya kami bercerita tentang pengalaman ketika memberikan les privat ketika di kampus untuk menambah uang saku. Menceritakan tentang suka duka dalam mengelesi seorang anak di kota kami belajar. Akhirnya aku menanyakan sesuatu kepada mereka,

“Bagaimana kalau kita mendirikan sebuah lembaga bimbingan belajar disini?”

Chusnul dan Farida terlihat setuju namun juga nampak agak ragu. Kami mulai berdiskusi lebih serius tentang Bimbel. Hingga pembicaraan malam itu kami sambung pada mala selanjutnya dengan mengajak satu lagi teman kami, Mbak Aris aku menyapanya.

Malam itu kami berempat mulai berbincang-bincang tentang rencana mendirikan Bimbel. Aris yang sebelumnya tak ikut dalam pertemuan sebelumnya, awalnya terlihat kikuk karena baru mengetahui rencana kami. Setelah berdikusi panjang, kami berempat pun akhirnya setuju mendirikan sebuah wadah yang menerima jasa les, kami pun baru mengkhususkan jasa les privat.

“Apa nama les privat kita?” Tanya farida.
“Mmmmmm…..” aku berfikir.
“Aku punya nama bagus buat les kita” Ungkap Chusnul.
“Apa ?” Tanya kami bertiga.
“Les Privat Brilian” ucap Chusnul dengan pasti.

Kami pun menyetujuinya, itu sebuah nama yang bagus. Walau pertama kami masih berdiskusi bagaimana menuliskan kata “Brilian” itu, memakai kata dalam bahasa inggris atau Indonesia?. Briliance, brilliant atau brilian. Akhirnya kita sepakat memakai kata berbahasa Indonesia. Malam itu pun ditutup dengan kesepakatan pembagian kerja, seolah suara ketiga wanita itu lah yang mendominasi jalannya perbincangan. Sebagai seorang laki-laki akhirnya aku ditunjuk menjadi ketua, Chusnul menjadi sekretaris, farida bendahara dan Aris sebagai Public Relation.

Malam itu kami pun menyudahi acara itu dengan senyum dan angan-angan tentang lahirnya sebuah lembaga bimbingan belajar yang lebih besar. Aku pun melangkahkan kakiku dengan senang, melewati beberapa bapak-bapak yang masih minum kopi di samping rumah Farida. Langkahku pun terhenti ketika beberapa pemuda menyapaku, tak lain adalah teman-teman sedesaku yang sedari tadi memperhatikan kami dari luar. Para teman-temanku yang kebetulan sedang nongkrong di salah satu rumah depan rumah Farida. Mungkin mereka iri denganku, karena aku asyik berbincang dengan tiga gadis cantik yang juga menjadi idola banyak orang. Namun aku juga senang, rumah tempat kami berkumpul itu adalah tempat yang cukup ramai. Banyak warga dan pemuda yang nongkrong di sekitar rumah itu, hingga aku pun tak khawatir jika dikira berkumpul malam-malam melanggar norma adat yang menjunjung pergaulan antar pria dan wanita di desaku.

Malam itu, 6 November lahirlah sebuah organisasi kecil pertama yang aku bentuk bersama teman-temanku. Walau hanya suatu yang kecil, aku merasa itu bisa menjadi suatu yang bermanfaat bagi lingkunganku. Memberikan contoh pada generasi adik-adikku untuk mau belajar setinggi-tingginya hingga bisa seperti kami. Aku pun sadar, tanpa sebuah organisasi atau kerja sama maka seseorang akan sulit berkembang. Aku tak ingin maju sendiri-sendiri, bersaing dengan ego masing-masing saling bersaingan tanpa adanya kesatuan. Hal itu lah yang sering aku lihat di sekitarku, banyak orang yang ingin menonjol sendiri-sendiri. Hingga akhirnya sampai sekarang, bukannya semakin maju. Mereka malah terpuruk dalam persaingan. Walau organisasi yang aku bentuk bersama tiga gadis temanku itu hanya suatu yang kecil, semoga itubisa menjadi tangga menuju hal yang lebih besar yang bisa kami lakukan. Menjadi karya kecil yang akan berkembang memacu membuat karya yang lebih besar.

Alhamdulillah, setelah brosur dan iklan yang kami gencarkan kepada lingkungan sekitar kami. Respon dari masyarakat sangat baik, bahkan teman-temanku pun ikut mengapresiasinya. Hingga ada beberapa warga yang menyarankan bagi kami untuk mendirikan bimbingan belajar sekalian, bukan hanya les privat semata. Aku pun sadar bahwa niat baik yang kita lakukan itu akan memberikan jalan yang baik pula. Walau tentu akan ada halangan dan tantangan yang siap menerpa di depan. Aku berharap semoga hal kecil ini, Les Privat Brilian bisa menjadi sebuah hal yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Mohon dukungan dan doa restunya supaya hal kecil ini bisa berkembang dan selalu bermanfaat. Hal itu, karena aku masih berpegang teguh dan selalu ingat pada pesan sosok yang sangat aku idolakan,
“Diantara sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi seseamanya” (Nabi Muhammad SAW).
Terakhir, semoga kita bisa menjadi saling bermanfaat antar sesame kita. Salam pemuda cinta pendidikan, salam kami untuk kemajuan.

0 Response to "Sepenggal Cerita Tentang Brilian"

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.