Pro Kontra Tulisan Afi Nihaya Faradisa, Semua Memang Tergantung Sudut Pandang.

image : mediasulteng.com 

Akhir-akhir ini di dunia maya sedang viral dengan tulisan dari seorang perempuan muda asal Banyuwangi, ia adalah Afi Nihaya Faradisa. Tulisannya yang berjudul "Warisan" itu banyak mengundang komentar dari banyak orang yang telah membacanya. Setiap orang pun memberikan respon yang berbeda-beda. Banyak yang memujinya, hingga banyak pula yang mencercanya. Banyak tulisan jawaban tentang tulisan gadis itu. Bahkan sempat juga akun facebooknya ditangguhkan, entah apa sebabnya. Bagi yang belum baca, berikut tulisan yang sedang viral itu :

"WARISAN
Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak. Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan. Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri. Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka. Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata. Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman". Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba. Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya". Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini? Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak! Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama. Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana. Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita. Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan. Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial. Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan. Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir."

Pertama kali saya membaca tulisan dari si kakak cantik itu. Dari sudut pandang saya, saya merasa bahwa hal itu adalah sebuah respon dirinya terkait berbagai hal yang akhir-akhir ini terjadi di dunia, khususnya Indonesia. Berbagai konflik yang banyak terjadi karena begitu kurangnya toleransi antar berbagai kelompok, karena setiap kelompok memang terlihat begitu antusias membela kelompoknya dan malah ingin menyalahkan kelompok yang lain. Hingga terbenturlah berbagai pemikiran antar kelompok itu, menjadi konflik yang terlihat dingin namun di belakangnya begitu berapi-api. Ia seolah ingin mengajak kita semua untuk tidak mempermasalahkan perbedaan prinsip yang ada. Biarlah semua berjalan masing-masing. Entah siapa yang benar nantinya menurut Tuhan, agar semuanya tidak saling senggol hingga malah bertikai tanpa ada akhirnya.

Berbagai pendapat dari tulisan Kak Afi ini pun beragam, dengan sudut pandang yang beragam pula. Contohnya jika tulisan di atas diukur dari sudut pandang ajakan kebersamaan. Tulisan di atas tentu banyak yang mengapresiasinya. Beda lagi saat tulisan di atas dipandang dari sumber agama masing-masing orang. Tentu banyak orang akan mengatakan, "Tidak semua agama itu benar, agamaku lah yang paling benar". Lalu jika dipandang dari referensi yang Kak Afi pakai, banyak sekali yang bilang bahwa tulisannya itu hanyalah susunan kalimat-kalimat yang disertai "alasan yang penting pas". Serta ada pula yang merasa tua, lalu berkata bahwa memang tulisannya itu sebagai buah pikir yang kurang dewasa. Anehnya ada pula yang menyanjung, tulisan itu seperti sebuah kedewasaan dari seorang yang telah berpikir jauh lebih dari usianya. 

Jika anda mau memahami tulisan di atas, tentu banyak sudut pandang yang bisa anda pakai. Saya pun demikian, terpenting diri kita tidak memandang tulisan itu dari kaca mata yang kotor. Agar tulisan yang terbaca itu bisa kita lihat dengan jernih. Tentulah yang disampaikan oleh Kak Afi Nihaya Faradisa itu ada benarnya dan juga ada salahnya. Namanya juga sebagai seorang yang masih belia. Benar atau salah menurut kita masing-masing, dia tetap sebagai seorang gadis yang berbeda dari gadis yang lainnya. Ia mampu membuat kita berpikir tentang apa yang ia sampaikan. Sebuah hal yang memang sangat penting dibicarakan untuk saat ini, "toleransi".

Adanya kekurangan dan kesalahan yang ia tuliskan, bukan berarti diri kita malahan menyalah-nyalahkannya secara terbuka dengan bebagai pengetahuan yang kita punya. Lebih baik memang secara tersendiri jika memang diri kita berniat menasihatinya untuk menjadikannya menjadi lebih baik. Lain halnya jika kita hanya ingin menjadi seorang yang ingin merasa paling benar, tentu menjatuhkan semua kalimat demi kalimat dari si kakak Afi itu tentu adalah hal yang mudah jika kita lebih berpengetahuan, lebih berpengalaman, atau lebih paham tentang agama. Iya itu tergantung dari diri kita masing-masing, seperti apa niat kita.

Salah satu ajakan dari Kak Afi itu adalah tentang saling menghargai orang lain. Jangan sampai malah karena tulisan itu diri kita jadi ribut sendiri, "oh iya tulisannya benar! bukan, tulisan itu sangat salah!". Sering kali kita lebih suka meributkan sesuatu, daripada kita mengambil pelajaran dan kebaikan dari sesuatu yang terjadi itu. Daripada kita saling meneriaki orang yang tak sependapat dengan kita, lebih baik saling terbuka pandangan saja. Jika kelompok kita, golongan kita, pandangan kita, serta sikap kepada orang lain itu baik. Niscaya tanpa berteriak mengklaim diri kita itu baik, orang lain dengan sendirinya mengakui kebaikan itu.

*Salam Bhineka Tunggal Ika

0 Response to "Pro Kontra Tulisan Afi Nihaya Faradisa, Semua Memang Tergantung Sudut Pandang."

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.