CHAPTER 3 - PUTUS SEKOLAH (NOVEL EMAK AKU INGIN KULIAH)


Lulus dari sekolah dasar, selanjutnya aku putuskan untuk bersekolah di MTs Miftahul Ulum Tambakromo. Walaupun dari guru wali kelasku di kelas enam Pak Patman menyarankanku untuk melanjutkan ke SMP Negeri 1 Tambakromo. Menurut beliau di SMP itu aku bisa lebih berkembang. Disarankan demikian namun aku tetap menginginkan untuk melanjutkan ke MTs saja, sedangkan dari pihak keluargaku tidak banyak memberikan tuntutan aku harus bersekolah dimana.

MTs Miftahul Ulum, Sebuah sekolah berbasis keislaman yang berlokasi di desaku sendiri di desa Tambakromo Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Sekolahku yang baru itu memang aku rasa tak lebih maju dari SMPN 1 Tambakromo kala itu, karena memang merupakan sekolah swasta yang baru berkembang. Banyak dari temanku yang bersekolah disitu sehingga aku jadi berminat masuk disitu juga. Selain dari segi teman, aku masuk di sekolah itu karena biaya untuk bersekolah di MTs itu relatif lebih murah daripada di SMP. Memang sebagai seorang anak dengan keadaan ekonomi orang tua menengah kebawah tak banyak pilihan yang aku punya. Hingga keluargaku pun tak memikirkan setelah lulus SD aku harus di sekolahkan dimana. Berbeda dengan teman-temanku yang mempunyai orang tua dengan kondisi perekonomian menengah keatas. Mereka sudah memikirkan nanti anaknya akan di sekolahkan ke sekolah favorit mana. Sedangkan bagi anak-anak sepertiku, bisa melanjutkan dan diterima di MTS atau SMP itu pun sudah sangat bersyukur sekali.

Pertama masuk, aku dan beberapa temanku dimasukkan ke
dalam kelas A yaitu kelas favorit yang ada disana dari tiga kelas yang ada. Aku sangat senang karena bisa masuk kelas favorit. Di kelas ini aku melihat sosok-sosok siswa yang pintar-pintar dari berbagai desa di Kecamatan Tambakromo dan sekitarnya. Mereka menjadi saingan-saingan berat dalam meraih prestasi. Kebanyakan dari mereka adalah para siswi, ternyata aku cenderung lebih kalah tekun dibandingkan mereka. Aku sebagai seorang cowok pada umur itu cenderung lebih suka bermain-main dengan teman-temanku daripada serius berlajar. Tiga tahun aku bersekolah di MTs Miftahul Ulum, disini berbeda dengan saat aku belajar di SD. Di MTs ini aku tidak bisa mengukir prestasi lebih. Kalau di SD sering mendapat peringkat satu. Sedangkan kala di MTs ini paling tinggi aku hanya bisa mendapat peringkat dua di kelas. Tak pernah sekalipun aku mencicipi peringkat satu. Kurasakan frekuensi belajarku yang mulai berkurang dikarenakan juga sudah tidak ada lagi yang membimbing ataupun menyuruhku untuk belajar. Kalau dulu ada kakakku yang selalu menyuruhku dan menamaniku. Sedangkan kala itu satu dua kali saja ibuku yang mengingatkanku untuk belajar, tetapi aku malah menghiraukan nasehat berharganya itu.

Tiga tahun lamanya aku bersekolah di MTs itu walau tak dapat mengukir prestasi tetapi di sekolah itu aku banyak mendapatkan pengetahuan agama. Ujian Nasional tingkat SMP dan MTS kulalui dengan baik dan dapat lulus dengan nilai yang memuaskan bagiku. Walau sempat kecewa karena tidak bisa menjadi yang terbaik di ujian itu. Namun ada yang mengganjal di fikiranku setelah melihat transkip nilai ujianku, tertulis angka 9,67 di pelajaran matematika. Aku tak percaya dengan hasil itu, mana mungkin bisa mendapat nilai setinggi itu. Jika aku hitung dari tiga puluh soal, maka dengan nilai setinggi itu aku telah berhasil menjawab benar 29 soal. Berati hanya salah satu soal saja, ah ini mustahil. Aku jadi berfikiran buruk pada guru-guruku, apakah mereka mengganti lembar ujianku hingga bisa mendapat nilai setinggi itu. Aku sangat penasaran, aku tanyakan pada guru matematikaku, Bu Yuni nama beliau. Seorang guru yang sering aku ajak debat kala pelajaran matematika. Seorang guru yang sering aku tanyai pertanyaan aneh tentang matematika, hingga kadang beliau sangat jengkel padaku. Namun terlihat pula beliau sangat senang dengan keingintahuanku serta semangatku disbanding yang lain. Terlihat beliau lebih sering memperhatikanku untuk pelajarannya yang rumit itu, aku pun sangat antusias mendengarkan beliau menerangkan angka-angka dalam pelajarannya itu.

Aku tanya pada beliau karena sangat penasaran, aku beranikan diri walau pertanyaan itu seharusnya tak pantas ditanyakan.

“Bu’, apakah nilai ujian matematika saya itu asli?”
“Maksudmu apa Gus?” beliau balik tanya.
“Nilai saya terlalu tinggi bu’, saya kurang percaya. Apakah pihak guru yang memperbaiki jawaban saya”
“Nilaimu itu asli, itu lah hasil kerja kerasmu selama ini. Nggak mungkin para guru membenarkan jawabanmu sebelum di kumpulkan ke Panitia, seperti kurang kerjaan saja” Beliau menerangkan.

Aku jadi mengerti bahwa sering kali kita merasa bahwa kita tak mampu meraih sesuatu, padahal sebenarnya kita mampu. Kita terlalu pesimis dengan kemampuan diri kita sendiri, padahal di dalam diri kita ada kemampuan luar biasa yang selalu menunggu untuk di gunakan dan di kembangkan. Aku pun mengerti, ketika aku menyukai sesuatu maka aku dengan senang hati melakukannya. Aku yang senang dengan matematika, menjadi seolah tanpa beban dalam mengikuti dan belajar matematika.

Selanjutnya setelah lulus, dari MTs itu berikutnya aku masih tidak punya banyak pilihan mau kemana setelahnya. Apakah melanjutkan ke MA Miftahul Ulum seperti kebanyakan temanku lainnya atau pergi merantau mencari uang. Kakak-kakakku menasehatiku kalau mau merantau aku masih terlalu kecil dan mereka bilang tubuhku juga belum mampu. Hal itu karena aku memang berperawakan kecil dibandingkan dengan teman-temanku lainnya.

Di daerahku memang banyak sekali yang setelah lulus dari tingkatan SMP maupun MTS langsung pergi merantau mencari uang. Pendidikan di daerahku memang belum begitu di nomer satukan. Bagi anak laki-laki merantau di usia lulusan SMP itu pun sudah dianggap wajar. Bagi anak perempuan ada yang melanjutkan sampai tingkat SMA, tetapi banyak yang hanya sampai SMP dan MTs saja. Mereka ini biasanya sudah akan dinikahi di usia dini. Maka tak jarang bisa dilihat perempuan-perempuan yang masih belia tetapi sudah menggendong anaknya. Jadi jika di tingkat SMA saja sudah jarang yang bersekolah apalagi yang sampai melanjutkan ke Perguruan Tinggi, maka bisa dihitung dengan jari.

Akhirnya setelah lulus aku melanjutkan sekolah lagi ke MA Miftahul Ulum seperti kebanyakan temanku. Lokasi sekolahnya berdekatan dengan MTs tempatku belajar dahulu karena memang satu yayasan. Di sekolah ini tak banyak kutemukan teman baru karena sebagian besar juga berasal dari lulusan MTs MIftahul Ulum. Saat di MA ini aku termasuk siswa yang biasa saja tak begitu berpengaruh terhadap temanku yang lainnya dalam pergaulan. Hanya mungkin kala dalam pelajaran aku punya pengaruh diantara teman-temanku, karena untuk pelajaran aku sangat serius dan menyukainya. Semua berjalan biasa saja dalam beberapa bulan dan tidak memliki banyak kesan yang mendalam dalam keseharianku. Baru tiga bulan kiranya aku sekolah di MA Miftahul Ulum Tambakromo. Kebosanan mulai terasa di benakku, rasa hambar mulai terasa dihari-hariku saat itu. Tiada seorang pun yang menyemangati, hanya diri sendiri yang bertahan menghadapi kesepian yang melanda hati.

Hari demi hari terasa berjalan sungguh lambat sekali. Padahal disana aku banyak memiliki teman yang baik, sahabat-sahabat yang senantiasa bercanda tawa bersama. Sering kali karena begitu bosannya hingga aku pun sering berceloteh.

“Yuuuk mbogel yuk”. Kalimat itu terulang berkali-kali dari mulutku. Mbogel, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti keluar dan berhenti sekolah.

Tingkat kesendirian dan kebosananku makin menjadi, ditambah lagi rasa sedih dan iri yang mendalam melihat teman-temanku yang memiliki berbagai fasilitas dan materi sedangkan aku tidak memilikinya. Seragam sekolah saja kala itu adalah pemberian orang lain. Aku tidak memiliki seragam baru seperti teman-temanku. Kulihat teman-temanku yang setiap hari membawa motor untuk ke sekolah, aku hanya bisa melihat mereka dengan berjalan kaki. Kala sedang di kantin sekolah sering kulihat teman-temanku bisa makan semaunya. Sedangkan aku harus menyesuaikan uang saku yang kumiliki atau kadang kala istirahat aku memilih pulang kerumah saja demi menghemat uang. Hal itu dikarenakan sekolahku juga tidak melarang siswanya pulang kala istirahat. Semua hal itu membuatku makin terpuruk dalam kesedihan. Sering aku menangis sendiri meratapi kehidupan yang ku jalani. Untuk menambah uang saku aku pernah mencoba berternak jangkrik, hasilnya pun lumayan. Aku pun coba mengembangkan beternak itu menjadi lebih banyak hingga memenuhi rumahku. Hal yang tidak terduga terjadi, tiba-tiba harga jangkrik merosot tajam dari dulunya rata-rata dua puluh lima ribu per kilogram menjadi lima ribu per kilogram. Padahal kala itu masa-masa panen jangkrikku. Aku pun merugi besar dan berhenti beternak jangkrik lagi. Aku rugi ratusan ribu, uang segitu bagiku sangat besar di masa SMA itu.

Kesepian yang kurasa semakin menjadi kala aku lihat banyak teman-temanku yang punya pacar atau sedang saling mendekati. Aku iri juga dengan mereka, sedangkan aku seperti terbatasi oleh ketidakpunyaanku. Bagaimana aku bisa mendekati seorang cewek fikirku, kalau aku tidak punya apa-apa. Hingga kala aku menyukai seseorang aku hanya diam saja sambil terus memendam perasaan yang ada di hatiku. Hingga seorang yang kusukai akhirnya jatuh ke hati temanku sendiri yang berani merayunya.

Di balik berbagai kesedihan dan kesepian yang kurasakan. Aku mulai mengingat masa lalu lagi, andai aku punya ayah pasti hidupku tidak seperti ini. Aku mulai berfikir kacau, bagaimana aku bisa keluar dari kondisi seperti itu. Aku ingin keluar dari suasana yang menyiksaku itu, hingga tiba-tiba datang di fikiranku,

“Bagaimana kalau aku merantau saja? wah itu ide bagus?” Fikirku dalam hati.

Sejak saat itu aku mulai berfikir bagaimana caraku bisa merantau dan akhirnya bisa keluar dari sekolah itu.  Hingga suatu saat kakakku yang paling tua pulang dari perantauan Kalimantan. Wah kesempatan emas fikirku dalam hati, pasti sebentar lagi kakakku selang beberapa minggu akan berangkat lagi ke Kalimantan untuk merantau. Di daerahku memang jika pulang dari merantau mereka tidak banyak menghabiskan waktunya terus-terusan di rumah, karena di rumah tidak banyak pekerjaan yang bisa dijalani maka terpaksa harus merantau lagi. Memang di daerahku sangat sedikit sekali lapangan pekerjaan, lahan pertanian yang ada tidak bisa menjamin kebutuhan hidup serta pekerjaan seluruh warga. Selanjutnya, memang benar kakakku akan merantau lagi, tetapi aku bingung bagaimana aku bisa ikut merantau, pasti jika langsung berterus terang ingin keluar sekolah maka bakal dimarahi habis-habisan oleh kakakku serta keluargaku yang lain.

Suatu hari keluargaku berkumpul bersama. Dalam suasana bercanda tawa aku berceloteh tentang keinginanku untuk keluar sekolah.

“Ah rasanya malas sekolah terus?”

“Lha mau apa jika tidak sekolah?”. Kakakku yang pertama menanggapi dengan bertanya sambil bercanda pula.

Ini lah kesempatan emas yang aku tunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Sontak aku menjawab,

“Aku ikut merantau saja ke Kalimantan”.

Pembicaraan pun dari awalnya bercanda jadi sedikit serius. Keluargaku yang ada disitu mulai menanyaiku macam-macam,

“Apakah benar ingin merantau?”
“Apakah kamu akan keluar sekolah?”.
“Kenapa ingin keluar sekolah?”

Aku pun mengiyakan pertanyaan mereka serta menerangkan bahwa aku sudah tidak betah bersekolah. Setelah perbincangan itu banyak keluargaku yang menasehatiku untuk tetap sekolah saja. Hal itu karena juga baru tiga bulan dan baru saja serta membayar banyak iuran. Mereka tak ingin aku keluar sekolah, namun aku bersikeras untuk ikut merantau saja ke Kalimantan.


Beberapa hari kemudian, permintaanku untuk merantau itu pun disetujui oleh keluargaku walau dengan terpaksa. Sejak disetujui itu aku mulai tak berangkat ke sekolah lagi. Sejak itu teman-temanku di sekolah mulai bertanya-tanya kenapa aku tidak berangkat lagi ke sekolah. Termasuk guru-guru yang mengenalku di sekolah, tetapi hanya sedikit guru saja. Memang hanya beberapa guru yang mengenalku kala di MA itu, karena saat itu aku tak begitu suka cari muka atau berakrab ria dengan para guruku. Hanya beberapa guru yang aku sukai saja yang aku akrabi hingga mengenalku. Akhirnya teman-temanku pun tahu bahwa aku akan merantau ke Kalimantan. Banyak temanku serta beberapa guruku itu yang menyayangkan kenapa aku memilih keluar sekolah. Kini kata-kata yang sering aku ucapkan dulu malah terwujud juga. Kata-kata mengajak teman-temanku untuk keluar sekolah atau lebih dikenal dengan istilah “Mbogel”. Sejak saat itulah aku menjadi seorang yang putus sekolah.

#Baca selengkapnya dalam novel "EMAK AKU INGIN KULIAH"
CP : 089620423210, Email : mas.agus.jp@gmail.com, PIN : 7529A05C

0 Response to "CHAPTER 3 - PUTUS SEKOLAH (NOVEL EMAK AKU INGIN KULIAH)"

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.