CHAPTER 19 - NYONTEK ATAU JUJUR (NOVEL EMAK AKU INGIN KULIAH)

SETELAH KEGAGALAN ujian seleksi Bidikmisi. Kini aku lebih fokus belajar lagi karena sebentar agi akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Aku mempersiapkan dengan sebaik mungkin UAN yang kata orang sangatlah sulit. Aku lebih semangat belajar, aku pun mengikuti tambahan pelajaran dengan rutin walau sampai sore hari. Selain itu juga dengan senang hati mengerjakan soal-soal latihan UAN. Semua itu aku lakukan karena keinginanku untuk lulus UAN dengan nilai yang baik serta nilai yang murni hasil kerjaanku sendiri. Aku harus wujudkan itu, aku tidak boleh mencontek dalam ujian nanti. Aku tidak boleh meminta jawaban teman apalagi membawa bocoran jawaban. Itulah yang menjadi komitmentku dalam menghadapi UAN. Aku berfikir jika aku jujur dan mengikuti aturan, pasti Allah akan lebih memberikanku manfaat. Allah pasti lebih melihat proses dan usahaku dalam mengikuti ujian daripada melihat hasil akhir nilaiku. Itulah yang juga membuatku sangat percaya diri dan bersemangat untuk bisa lulus dengan nilai yang murni.


Komitmen untuk bisa lulus dengan nilai murni itu memang harus diuji dengan beberapa kejadian. Di antaranya kala ada temanku yang berkata,

“Mana ada di zaman sekarang siswa yang bisa lulus ujian nasional dengan nilai murni, jelas tidak ada”.

Sempat aku ragu, apakah aku bisa

lulus dengan mengerjakan sendiri. Sedangkan banyak temanku yang berkata demikian itu, tetapi semua keraguan itu terhapuskan kala aku menyadari bahwa di dunia ini tidak ada kecurangan yang akan membawa manfaat namun kejujuran lah yang akan membawa manfaat. Aku ingin tunjukan pada teman-temanku lulus dengan nilai murni itu bisa.

Sebelum ujian berlangung sudah banyak beredar pula tentang kabar bocoran jawaban soal ujian. Mendengar itu aku tidak peduli karena aku tidak ingin melakukannya. Sebelum ujian itu berlangsung pula, aku sempat ditawari bekerja sama dengan salah seorang siswa yang tiba-tiba menghubungiku. Dia mengenalkan diri dan memberi tahuku dia berasal dari sekolah lain. Kutahu kala itu dia berasal dari sekolah yang favorit di daerahku. Tidak aku sangka di sekolah favorit juga ada siswa-siswa seperti itu, ternyata memang semua itu tergantung dari pribadi siswanya. Tidak serta merta berdasarkan sekolah tempat seorang itu belajar. Karakter pribadi siswa itu lah yang menentukan apakah dia mau berbuat jujur atau tidak. Mendengar permintaan untuk bekerja sama, maka aku dengan tegas menolaknya. Pertama memang aku dikatakan sok pintar karena tidak mau menerima permintaan untuk kerja sama. Setelahnya, walau mau dikatakan seperti apapun memang aku tetap tidak ingin bekerja sama dalam mengerjakan soal-soal ujian nanti.

Hari-hari menjelang ujian itu banyak guru yang memberikan semangat kepadaku dan juga kepada teman-temanku. Kebalikannya, tetapi juga ada guru yang justru berkata seolah meragukan kemampuan kami. Suatu hari ada guru yang berbicara di depan kelasku.
“Anak-anak, saya jamin jika kalian mengerjakan sendiri secara murni. Maka saya berani jamin kalian tidak akan ada yang lulus” jelas guru itu berbicara seperti itu.

Entah mengapa guru itu mengatakan hal yang demikian. Mungkin karena guru itu telah begitu kecewa dengan semangat kami dalam belajar atau justru memotivasi kami dengan cara yang lain. Memang kadang dengan cara terbalik seolah negatif seperti itu seorang akan menjadi lebih baik karena tidak ingin dipandang rendah atau disepelekan. Ternyata memang itu yang aku rasakan, karena merasa kemampuanku disepelekan oleh guru itu. Aku jadi ingin menunjukan kepada beliau, bahwa aku pasti akan mampu lulus ujian dengan nilai yang murni. Lulus darihasil kerjaan sendiri tanpa menyontek ataupun meminta jawaban dari siapapun. Mungkin jika niat sang guru itu memotivasi maka sebenarnya caranya memotivasi itu telah berhasil membuatku sangat bersemangat menjadi lebih baik dan lebih mau belajar. Selanjutnya aku tidak begitu memikirkan itu, yang penting aku akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa lulus dengan nilai yang baik serta murni.

Hari ujian itu pun telah tiba, sekolahku kala itu belum mendapatkan kepercayaan dan izin untuk menyelenggarakan Ujian Akhir Nasional secara mandiri. Hal itu karena memang sekolahku baru kedua kalinya mengikuti Ujian Akhir Nasional itu. Jadi terpaksa kami harus gabung di sekolah lain. Kala itu sekolahku harus bergabung menginduk dengan SMA Negeri 01 Kayen. Sekolah itu adalah satu-satunya sekolah negeri setingkat SMA di kecamatan Kayen dan merupakan sekolah paling favorit di kecamatan Kayen. Aku dan teman-temanku pun mengikuti ujian disana. Guruku menasehati dengan menyuruh kami menganggap sekolah itu adalah sekolah kami sendiri. Supaya kami tetap tenang dan semangat.

Hari pertama ujian tiba, wajah tegang dari teman-temanku terlihat jelas. Sebelum masuk ke dalam ruangan sungguh gelisah hatiku kala kulihat beberapa temanku yang berbicara dengan berbisik tentang bocoran ujian hari itu. Sementara di genggaman mereka terdapat lintingan kertas kecil yang mungkin itu adalah bocoran yang dimaksud. Aku tidak peduli dengan itu, aku hanya gelisah kenapa mereka mau melakukan hal seperti itu. Hingga kami pun masuk ruangan ujian.
Aku berada di bangku paling depan, tak berapa lama pengawas ujian masuk. Sebelum ujian dimulai pengawas itu menyampaikan tata tertib ujian salah satunya berbunyi,

“Setiap peserta ujian tidak diperkenankan bekerja sama dengan siapapun”.
“Setiap peserta ujian tidak boleh membawa catatan dalam bentuk apapun.”
Setelah itu sang pengawas mengambil amplop coklat besar yang kutahu berisikan lembar soal saat pengawas itu mengatakan kepada kami semua,
“Lihat, masih tersegel ya soalnya”

Sambil memperlihatkan amplop coklat besar berisi soal ujian itu. Memang kulihat amplop itu masih tersegel rapi, tetapi sempat bertanya-tanya serta meragukan di fikiranku. Jika memang soal-soal itu tersegel mana mungkin ada yang bisa mendapat bocoran ujian, kecuali memang ada oknum yang bermain curang dibalik itu hingga mencari keuntungan dengan membocorkan soal ujian.

Ujian pertama kulalui dengan lancar dan alhamdulillah bisa kukerjakan sendiri dengan lancar dan baik. Aku berhasil mengerjakannnya tanpa sedikitpun meminta bantuan kepada teman-temanku, kgarena itulah tekad dan komitmenku. Hingga sampai hari-hari berikutnya aku pun mampu melewatinya dengan baik, komitmenmu tidak tergoyahkan sedikitpun. Walaupun ada peristiwa yang sangat menguji keteguhanku dalam menjaga tekad dan komitmenku untuk lulus dengan nilai murni. Pada saat ujian mata pelajaran Bahasa Inggris tepatnya,saat itulah cobaan berat datang padaku. Awalnya aku dengan percaya diri mengerjakan soal-soal yang ada dengan sungguh-sungguh. Walau aku juga menyadari bahwa pelajaran Bahasa Inggris itu memang sangat susah. Alhamdulillah sampai menjelang akhir ujian itu selesai aku tetap berusaha mengerjakannnya sendiri. Menit-menit terakhir sebelum ujian itu selesai, aku dikagetkan dengan suara temanku dari belakang bangkuku.

“Gus, jawabanmu banyak yang salah” bisik temanku dari belakang.
“Maksudmu”. Tanyaku.
“Aku cocokan dengan jawabanku dari bocoran”. Terangnya.
Ternyata dia dari tadi mencocokan jawabanku dengan jawabannya dan menurutnya jawabanku banyak yang salah. Dia mengatakan itu berkali-kali tetapi aku tidak menanggapinya dengans serius. Walau dia bilang kalau dirinya menggunakan kunci bocoran soal. Kemudian dia mengatakan kembali bahwa jawabanku sangat banyak yang tak sesuai dengan jawaban menurut kunci bocoran itu. Sempat goyah hatiku, apakah yang dikatakannya itu benar? Apakah jawaban-jawabannya itu yang benar?. Gelisah juga dibuatnya, tetapi akhirnya aku tetap dalam pendirianku. Aku tak ingin tergiur dengan kunci bocoran yang dia bawa. Dia terus memanggilku sambil memegang lintingan kertas berisi jawaban, berusahan meyakinkanku untuk mengambilnya dan mengganti segera jawabanku sebelum waktu ujian selesai. Kulihat temanku itu benar-benar serius meyakinkanku bahwa jawabanku salah dan harus segera mengganti jawabanku. Mungkin dia takut jika aku nanti tidak lulus, aku hargai kepeduliannya padaku untuk itu. Walau demikian, tetapi bagiku tetap tidak ada kata untuk mencontek.

Temanku itu terlihat begitu khawatir denganku, dia terus meyakinkanku hingga akhirnya dia menyerah dan pasrah meletakkan lintingan kertas berisi jawaban itu ke kursi yang aku duduki. Berharap aku berubah fikiran dan mau menerima bantuannya. Aku salut dengan kepedulian temanku itu, tetapi itu juga tak baik juga. Hingga alhamdulillah sampai waktu ujian itu selesai, lintingan kertas itu tetap diam di tempat di kursiku tanpa sedikitpun aku coba untuk menyentuhnya. Setelah selesai temanku itu menghampiriku dan mengatakan tentang kekhawatirannya padaku, karena aku yang tak mau mengganti jawaban-jawabanku. Aku katakana bahwa tidak apa-apa, aku terima semua resiko kerjaanku itu apapun hasilnya.

Alhamdulillah UAN berjalan dengan lancar dan aku sukses dalam mewujudkan komitmenku untuk mengerjakan sendiri dalam ujian. Selanjutnya beberapa hari setelah ujian aku dipanggil oleh beberapa guruku. Aku penasaran kenapa aku dipanggil oleh guruku, ternyata aku ditanyai tentang UAN dulu. Di dalam ruangan tersendiri tak aku sangka akan banyak ditanyai kenapa aku dengan percaya dirinya tidak mau bekerja sama saat ujian berlangsung. Ternyata ada temanku yang melaporkan pada guru-guruku itu bahwa aku mengerjakan semuanya sendiri tanpa meminta bantuan siapapun. Terlihat guruku itu juga khawatir jika aku tidak bisa lulus dan juga terlihat betapa guruku itu meragukanku bisa lulus. Dengan tenang aku tetap menjawab,

“Apapun hasilnya saya akan terima dengan lapang dada, lulus atau tidak yang penting aku telah berusaha”. Aku yakinkan guru itu.
Akhirnya waktu pengumuman tiba, aku sempat khawatir apakah aku akan lulus atau tidak. Sungguh sangat malu pastinya jika aku tidak lulus. Hal itu karena dari awal hingga akhir ujian aku bersikeras tidak mau bekerja sama dengan temanku dan meminta contekan ataupun bocoran. Semua temanku menerima amplop berisi surat keterangan ujian, lulus atau tidak. Kulihat satu persatu temanku yang mendapatkan amplop berwarna putih itu. Kulihat mereka sangat kegirangan kala membaca tulisan di lembaran kertas di dalam amplop itu yang tertulis bahwa dinyatakan lulus. Aku pun menerima amplop pengumuman itu. Awalnya aku ingin membuka amplop itu nanti hingga pulang di pondok. Aku memegang amplop itu di genggaman tanganku dengan kuat. Aku berjalan keluar kelas dengan beberapa temanku, sedangkan mereka langsung seketika membuka amplop mereka itu. Mereka membukannya dengan hati-hati dan sebuah teriakan kegembiraan terdengar lantang dari suara mereka,
“Hore aku lulus”.
“Aku lulus”
“Alhamdulillah lulus”
Aku pun akhirnya tak sabar membuka amplop itu, sambil berjalan aku buka amplop itu. Aku ambil selembar kertas di dalamnya. Aku buka dengan pelan lembaran kertas itu. Akubaca dengan seksama hingga aku pun reflek meloncat dan berteriak,
“Aku luluuus”.

Aku begitu merasa bahagia kala itu, karena aku telah mampu lulus dengan hasil perjuanganku sendiri. Serasa terbayar lunas seluruh jerih payahku dalam belajar, bahkan seperti beban berat dipunggungku hilang begitu saja, rasa ketakutan akan tidak lulus itu telah sirna terhapus oleh keterangan kelulusan itu. Aku pun tersenyum bangga dan bahagia dengan kelulusanku itu. Benar-benar rasa plong di hati dan fikiran, begitu seperti bebas melayang-melayang tanpa beban.
Di hari berikutnya baru kuketahui ternyata ada beberapa temanku yang tidak lulus. Aku sangat sedih dan prihatin dengan mereka. Pasti mereka sangat terbebani oleh kenyataan bahwa mereka tidak lulus. Rasa malu dengan orang-orang di sekitarnya pasti menghinggapi setiap detik waktu yang mereka lalui. Rasa gagal juga tentu membuat mereka seperti jatuh dalam lubang besar serta diatasnya seolah terdengar banyak orang yang mengolok-olok mereka. Memang seperti itulah mungkin perasaan para pelajar kala tidak bisa lulus ujian. Kegagalan tidak bisa lulus menjadi beban mental dan sosial bagi kehidupan mereka. Setelah belajar selama tiga tahun nasib mereka seolah ditentukan hanya dengan beberapa jam mengahadapi soal-soal ujian. Benar-benar kriteria kelulusan yang ada waktu itu menurutku belum setara jika dibandingkan dengan belajar mereka selama tiga tahun di dalam kelas.

Tak berselang lama nilai ujian pun keluar. Alhamdulillah nilaiku semuanya lulus dan aku sangat puas dengan hasilnya. Beberapa nilai ujianku pun menjadi nilai tertinggi di antara teman-temanku, salah satunya di mata pelajaran Sosiologi. Guru-guruku yang tadinya meragukanku justru kala itu memberikan selamat padaku karena nilaiku yang menurut mereka sangat memuaskan. Saat itu aku bisa buktikan pada guruku bahwa aku mampu lulus dengan nilai murni. Akhirnya aku bisa membuatku guru-guruku di SMA tersenyum bangga melihat keberhasilanku dalam ujian itu. Aku pun merasa puas dan senang bisa melihat mereka tersenyum bangga dengan semangatku meraih ujian dengan nilai murni. Serta aku bisa buktikan pada teman-temanku pula bahwa lulus dengan nilai yang murni itu bisa. Aku telah buktikan dengan semangat yang kuat, komitmen yang teguh, usaha belajar dengan giat serta doa yang senantiasa kupanjatkan kepada Allah. Aku bisa meraih kelulusanitu dengan hasil murni.

#Baca cerita lengkapnya dalam novel "EMAK AKU INGIN KULIAH"

CP : 089620423210, Email : mas.agus.jp@gmail.com, PIN : 7529A05C

0 Response to "CHAPTER 19 - NYONTEK ATAU JUJUR (NOVEL EMAK AKU INGIN KULIAH)"

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.